Senin, 26 Desember 2011

Peristiwa Tiga Daerah

Dan kami jatuh cinta. Pada saat hujan menutup musim panen, sorak petani mengalahkan suara kodok. Kami berpagut dalam cinta. Jatuh hati memang begitu saja. Karena mata terbiasa memandangnya, telinga tuli tanpanya dan kulit pucat pasi tanpa sentuhannya. Dan bila kau menemukan sepi di malam sunyi, kau pasti tengah jatuh hati. Dan untuknya seikat padi tidak akan cukup, butuh tiga atau empat ikat lagi sehingga cukup untuk menjaga hatinya. Demikianlah permulaan semuanya di zaman ketika sorak gembira petani berakhir di pematang sawah. Padi tidak pernah menjadi beras di rumah mereka, sebab perang Asia Raya masih jauh dari selesai.

Di zaman buntung ini, kau harus pintar-pintar cari peruntungan. Bila kau tidak pandai membaca, seorang lurah akan gampang membujukmu untuk dijadikan kuli sukarela dengan sogokan rokok Kooa. Bila kau tidak pernah pulang, kau dikenang sebagai romusha. Bila kau cukup pintar, kau bisa pilih jadi tentara sukarela. Peruntungan itu tidak akan cukup untuk membuatmu pulang. Kau akan berakhir di barak-barak yang dijaga dengan kawat duri. Mungkin kelak kau akan mati di Sumatera, Kalimantan atau Siam. Tetapi aku yang hidup demi cintaku, pintar membaca peruntungan, aku memilih jadi polisi. Bukan keibodan, tetapi benar-benar polisi yang atasannya cuma sidookan.

Jumat, 16 Desember 2011

Sutan Sulaiman


Sutan Sulaiman tidak sementereng namanya. Bukan raja, melainkan gelar yang disematkan mamaknya berhitung puluh tahun yang silam ketika dia menyempurnakan agama dengan menikahi gadis yang dijodohkan dengannya. Dia tidak bergelimang harta sebagaimana Raja Sulaiman melainkan hidup bersahaja dengan mimpi sederhana yang masih bisa diraba-rasa oleh panca indera.

Sutan Sulaiman hidup dari keterampilan tangan ; mengayun cangkul mengolah sawah dan ladang, memainkan perkakas menjadikan kayu jadi perabot rumah tangga, menempa besi menjadikannya pisau dan klewang dan dengan tangannya pula dia membesarkan tujuh orang anaknya. Si sulung perempuan dan enam orang adik laki-lakinya. Mereka hidup di pondok kecil yang asri dan bersih di tengah kebun singkong dan tebu yang juga dijadikan bengkel kerja Sutan Sulaeman. Inilah hidup yang indah. Di pagi hari mereka ke sawah dan ladang. Lepas siang sibuk di bengkel kerja. Dan di sore hari bergabung dengan laki-laki lain melepas penat di lapau dengan analisis politik internasional kelas atas.

Mimpi sederhana memang bukan untuk mengubah dunia. Tetapi untuk menjaga kebahagiaan tetap ada. Anak-anak Sutan Sulaiman bersekolah semuanya. Tetapi dia tidak pernah benar-benar menyerahkan masa depan mereka kepada sekolah yang seringkali memberi ketidakpastian.  Bagi kebanyakan orang desa, mimpi-mimpi sekolah yang penuh dengan ilusi prestasi akademis seringkali menipu. Sebab sekolah tidak mengajarkan keterampilan untuk menghadapi hidup tetapi mengajarkan mimpi yang bagi kebanyakan anak-anak tidak jelas ujung bayangnya.

Selasa, 13 Desember 2011

Sejarah

Sebelum sore naas itu, aku sudah melupakan sejarah dalam ingatan. Topik itu telah berubah jadi gelembung-gelembung kecil yang pecah sebelum hangat udara kota sempat mencumbunya. Tanpa memikirkan masa silam, hidup terasa lebih ringan. Tidak ada lagi pertentangan pemikiran yang mengombang-ambing, hidup terasa singkat ketika malam-malam dihabiskan dalam keramaian. Beginilah hidup yang seharusnya dijalani, melaju dengan hentakan musik yang menghilangkan ingatan.

Sore akhir pekan adalah saat dimana ponsel pintar menentukan nasib pemiliknya. Angka-angka diundi untuk mendapat kata setuju jalan di malam hari. Persis seperti undian yang ditaruh di dalam pukat buaya. Saat-saat yang menyenangkan sebelum bajingan kecil ini datang. Anak muda itu benar-benar membuyarkan harapanku tentang gadis-gadis berpakaian minim dengan motif macan yang tengah tren. Menghapus harapan menatap mereka bergoyang aktif mirip senam SKJ ’88.  Senyumnya ketika mengenalkan diri persis seperti imajinasi Taufieq Ismail tentang tiga anak kecil yang malu-malu menaruh karangan bunga di tahun ’66. Senyum yang menyebalkan.

“Bagaimana cara menggugah kesadaran anak muda akan sejarah?”. Tanyanya penuh bangga hanya untuk menunjukkan kadar intelektual ala mahasiswanya yang serba peduli. Setan apa yang merasuki anak muda ini. Apakah dia melihat tampangku sekolot Anhar Gonggong, ataukah badanku setambun Onghokham dan atau jangan-jangan dia pikir aku serenta Taufik Abdullah. Ini pertanyaan yang salah pada waktu yang tidak tepat kepada penikmat kehidupan malam. Aku mengalihkan pembicaraan pada topik, apakah dia masih perjaka? Pernah coba narkoba? Bila memang masih perjaka bila dorongan itu ada bagaimana? Dan seratus tiga macam topik lainnya yang seharusnya disukai anak muda. Tetapi ini jenis anak muda yang benar-benar narsis-idealis, gandrung menonjolkan pertanyaan-pertanyaan tidak penting. Kukuh menunggu jawaban.