Dan kami jatuh
cinta. Pada saat hujan menutup musim panen, sorak petani mengalahkan
suara kodok. Kami berpagut dalam cinta. Jatuh hati memang begitu saja. Karena
mata terbiasa memandangnya, telinga tuli tanpanya dan kulit pucat pasi tanpa
sentuhannya. Dan bila kau menemukan sepi di malam sunyi, kau pasti tengah jatuh
hati. Dan untuknya seikat padi tidak akan cukup, butuh tiga atau empat ikat
lagi sehingga cukup untuk menjaga hatinya. Demikianlah permulaan semuanya di
zaman ketika sorak gembira petani berakhir di pematang sawah. Padi tidak pernah
menjadi beras di rumah mereka, sebab perang Asia Raya masih jauh dari selesai.
Di zaman buntung
ini, kau harus pintar-pintar cari peruntungan. Bila kau tidak pandai membaca,
seorang lurah akan gampang membujukmu untuk dijadikan kuli sukarela dengan
sogokan rokok Kooa. Bila kau tidak pernah pulang, kau dikenang sebagai romusha.
Bila kau cukup pintar, kau bisa pilih jadi tentara sukarela. Peruntungan itu
tidak akan cukup untuk membuatmu pulang. Kau akan berakhir di barak-barak yang
dijaga dengan kawat duri. Mungkin kelak kau akan mati di Sumatera, Kalimantan
atau Siam. Tetapi aku yang hidup demi cintaku, pintar membaca peruntungan, aku
memilih jadi polisi. Bukan keibodan, tetapi benar-benar polisi yang atasannya
cuma sidookan.