Rabu, 08 Februari 2012

Surat Dua


Ambillah kayu kering, bakar di balik semak dan perdu. Ubi ditusuk sate, dekatkan ke perapian. Hangus merasuk hidung, terasa gurih walaupun pahit di pangkal lidah.

Apakah petani masih merayakan kesederhanaan saat ini. Sementara kapitalisme meratakan manusia dalam keinginan yang sama akan barang-barang konsumsi. Arus budaya manusia digerakkan oleh produksi benda-benda, bukan lagi interaksi antara sesama. Agaknya kita melupakan esensi kehidupan, bahwa perbedaan menjaga keseimbangan alam. Derita lebih sering muncul karena persamaan bukan perbedaan. Untuk keinginan yang sama, manusia saling meniadakan.

Akankah pikiran-pikiran sederhana kan tetap bisa menjaga kita. Soal-soal hidup diselesaikan lewat kata yang meniadakan murka. Spanduk, billboard dan temaram lampu LED yang memperdaya enyah dari pandang mata kita. Bisikan suara hanya bisa diimbangi oleh semilir angin hangat. Ataukah kita tetap ingin hidup dalam gemerlap cahaya yang membutakan. Dimana kita kehilangan arah dalam persamaan pandangan terhadap hidup. Langkah terayun meninggalkan desa, berbondong-bondong memenuhi kota. Ombak sepi oleh kapal nelayan, kebun merindukan cumbuan dari pacul petani.

Asap membumbung dari cerobong pabrik, sementara jerami busuk oleh cendawan. Kawanan sapi bergerak pelan mengikut alur sungai yang kering. Amis bau ikan mati korban dari pabrik-pabrik yang memproduksi gaya hidup. Kabar dari desa tiada terdengar lagi sebab kota tidak sempat mendengarkan.

Ikatan manusia melonggar justru pada saat kehidupan semakin terhubung. Kawan hanyalah pertemanan basi-basi. Impotensi relasi dalam pencarian status yang tidak masuk akal. Dunia mengalami kemunduran.

Sabtu, 04 Februari 2012

Surat Satu


Duniaku sempit, bagai daratan terkepung tepian. Erosi mengikis, perlahan menahan langkah merengkuh tujuan. Vakum, terpenjara dalam sepi kertas tanpa tinta.  Itu sebabnya aku setuju denganmu, hidupku datar, tidak lagi memberikan getaran kepada siapapun. Terlebih kepadamu. Angin mungkin telah menjemput setiap kenangan tentangku di hatimu.

 Aku mungkin bisa mengubah dunia, tetapi tidak akan mampu mengubah hatimu. Karena segala yang tampak di dunia punya ukuran, tetapi hati yang tiada terlihat, tak satu alat pun bisa mengukur. Usailah hujan disambut pancaroba panjang.

Roda-roda bergerak pelan, meninggalkan sepi suara kerikil bebatuan. Entah kemana arah tujuan sebab di balik kabut impianmu, mataku buta. Mungkin cahaya suar bisa membantu, tetapi tumpukan karang terlalu jauh dariku. Untuk menyeberang laut, aku tiada bisa lagi berenang. Kokoh hatimu telah membekukan samudera yang tiada bisa dilayari.

 Tiada yang kukuh tanpa perubahan. Arus waktu senantiasa menyeret kita, terkadang membuat kita terapung tak berdaya dalam impian sendiri. Namamu tidak ku lukis di atas pasir tetapi ku ukir di terjal tebing karang. Pasang ombak tiada akan pernah bisa menghancurkannya. Angin badai tidak akan mampu mengikisnya. Masalahnya bukan tentang namanu yang abadi, tetapi tentang aku yang fana. Untuk itu aku hanya bisa menulis dalam pinta.

Rabu, 04 Januari 2012

Soekarno dan Para Kolonel



Jacob Frederick Waraow, dia biasa dipanggil Joop Warouw gundah. Di awal Pebruari tahun 1958, dia menerima kawat dari sejawat Minahasa nya Ventje Sumual. Pesannya singkat, Sumual meminta Waraouw untuk segera menemuinya di Hongkong. Pada saat itu Kolonel Joop Warouw ditugaskan sebagai Atase Militer pada Kedutaan Besar Indonesia untuk RRC di Beijing. Sedangkan Sumual adalah salah satu aktor utama dari para Kolonel pembangkang yang tengah menyusun kekuatan melawan Jakarta. Di tahun 1956, ketika kegelisahan di Sumatera dan Sulawesi mulai meluas, Jakarta buru-buru membuang Waraouw yang pada saat itu menjabat Panglima TT VII/Wirabuana untuk menjadi atase militer di Beijing. Keputusan yang salah, sebab begitu Warouw pergi dan Sumual mengklaim kursi panglima, hubungan Jakarta dan Sulawesi semakin memburuk.
            
Di Hongkong,Sumual hanya menyampaikan satu pinta kepada Waraouw. Agar dia bersedia menemui Soekarno yang tengah merundingkan pampasan perang  (dan) tentu sambil plesiran malam disana. Para Kolonel di Sumatera dan Sulawesi sebenarnya tidak hendak memisahkan diri, mereka hanya menuntut reformasi. Agar presiden memenuhi permintaan mereka supaya Bung Hatta dan Sultan HB IX ditunjuk sebagai formatur kabinet yang lebih mewakili aspirasi daerah. Tuntutan yang dimanipulasi oleh AH Nasution sebagai separatisme kepada Soekarno. Waraow adalah salah seorang Kolonel kesayangan Soekarno. Dua kali dia menyelamatkan Soekarno ; pertama menyelamatkan nyawa Soekarno dari berondongan serdadu Sekutu pada saat pesawat yang ditumpangi Soekarno mendarat di Surabaya. Dan kedua menyelamatkan kekuasaan Soekarno dari rongrongan tentara dalam peristiwa 17 Oktober 1952 dengan mendepak Gatot Soebroto dari TT VII. Warouw menyanggupi permintaan Sumual.

Bagi Soekarno Jepang sudah seperti tempat peristirahatan di Puncak saja. Tidak pernah dia menghabiskan waktu kurang dari dua minggu di tanah “saudara tua” itu. Perundingan pampasan perang memang berlarut-larut tetapi tidak ada yang lebih melarutkan Soekarno dan rombongan dibandingkan dunia malam Tokyo. Hotel Imperial jadi pilihan penginapan rombongan yang senantiasa berjumlah besar. Laporan-laporan dari Djuanda tentang kemelut di Sumatera dan Sulawesi tidak mengurngkan niat Soekarno memperlama plesiran di Jepang. Bagi Soekarno, para Kolonel yang gelisah itu tidak lebih dari anak-anaknya yang mencari-cari perhatian sang “Bapak”. Tetapi begitu mendengar kabar tentang Sumual yang memasuki Jepang menggunakan paspor Inggris dengan nama Herman Nicholas Sumual berikut lima orang lainnya, Soekarno cemas. Bisikan mampir di telinganya, Kolonel pembangkang itu tengah merencanakan plot pembunuhan terhadap Soekarno di Jepang. Apalagi kemudian diketahui bahwa Sumual dan rombongannya menginap di Hotel Nikatsu yang berada tidak jauh dari Hotel Imperial.