Ambillah kayu kering, bakar di
balik semak dan perdu. Ubi ditusuk sate, dekatkan ke perapian. Hangus merasuk
hidung, terasa gurih walaupun pahit di pangkal lidah.
Apakah petani masih merayakan
kesederhanaan saat ini. Sementara kapitalisme meratakan manusia dalam keinginan
yang sama akan barang-barang konsumsi. Arus budaya manusia digerakkan oleh
produksi benda-benda, bukan lagi interaksi antara sesama. Agaknya kita
melupakan esensi kehidupan, bahwa perbedaan menjaga keseimbangan alam. Derita lebih
sering muncul karena persamaan bukan perbedaan. Untuk keinginan yang sama,
manusia saling meniadakan.
Akankah pikiran-pikiran sederhana
kan tetap bisa menjaga kita. Soal-soal hidup diselesaikan lewat kata yang
meniadakan murka. Spanduk, billboard dan temaram lampu LED yang memperdaya
enyah dari pandang mata kita. Bisikan suara hanya bisa diimbangi oleh semilir
angin hangat. Ataukah kita tetap ingin hidup dalam gemerlap cahaya yang
membutakan. Dimana kita kehilangan arah dalam persamaan pandangan terhadap
hidup. Langkah terayun meninggalkan desa, berbondong-bondong memenuhi kota.
Ombak sepi oleh kapal nelayan, kebun merindukan cumbuan dari pacul petani.
Asap membumbung dari cerobong
pabrik, sementara jerami busuk oleh cendawan. Kawanan sapi bergerak pelan
mengikut alur sungai yang kering. Amis bau ikan mati korban dari pabrik-pabrik
yang memproduksi gaya hidup. Kabar dari desa tiada terdengar lagi sebab kota
tidak sempat mendengarkan.
Ikatan manusia melonggar justru
pada saat kehidupan semakin terhubung. Kawan hanyalah pertemanan basi-basi. Impotensi
relasi dalam pencarian status yang tidak masuk akal. Dunia mengalami
kemunduran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar