Sabtu, 04 Februari 2012

Surat Satu


Duniaku sempit, bagai daratan terkepung tepian. Erosi mengikis, perlahan menahan langkah merengkuh tujuan. Vakum, terpenjara dalam sepi kertas tanpa tinta.  Itu sebabnya aku setuju denganmu, hidupku datar, tidak lagi memberikan getaran kepada siapapun. Terlebih kepadamu. Angin mungkin telah menjemput setiap kenangan tentangku di hatimu.

 Aku mungkin bisa mengubah dunia, tetapi tidak akan mampu mengubah hatimu. Karena segala yang tampak di dunia punya ukuran, tetapi hati yang tiada terlihat, tak satu alat pun bisa mengukur. Usailah hujan disambut pancaroba panjang.

Roda-roda bergerak pelan, meninggalkan sepi suara kerikil bebatuan. Entah kemana arah tujuan sebab di balik kabut impianmu, mataku buta. Mungkin cahaya suar bisa membantu, tetapi tumpukan karang terlalu jauh dariku. Untuk menyeberang laut, aku tiada bisa lagi berenang. Kokoh hatimu telah membekukan samudera yang tiada bisa dilayari.

 Tiada yang kukuh tanpa perubahan. Arus waktu senantiasa menyeret kita, terkadang membuat kita terapung tak berdaya dalam impian sendiri. Namamu tidak ku lukis di atas pasir tetapi ku ukir di terjal tebing karang. Pasang ombak tiada akan pernah bisa menghancurkannya. Angin badai tidak akan mampu mengikisnya. Masalahnya bukan tentang namanu yang abadi, tetapi tentang aku yang fana. Untuk itu aku hanya bisa menulis dalam pinta.

1 komentar: