Senin, 26 Desember 2011

Peristiwa Tiga Daerah

Dan kami jatuh cinta. Pada saat hujan menutup musim panen, sorak petani mengalahkan suara kodok. Kami berpagut dalam cinta. Jatuh hati memang begitu saja. Karena mata terbiasa memandangnya, telinga tuli tanpanya dan kulit pucat pasi tanpa sentuhannya. Dan bila kau menemukan sepi di malam sunyi, kau pasti tengah jatuh hati. Dan untuknya seikat padi tidak akan cukup, butuh tiga atau empat ikat lagi sehingga cukup untuk menjaga hatinya. Demikianlah permulaan semuanya di zaman ketika sorak gembira petani berakhir di pematang sawah. Padi tidak pernah menjadi beras di rumah mereka, sebab perang Asia Raya masih jauh dari selesai.

Di zaman buntung ini, kau harus pintar-pintar cari peruntungan. Bila kau tidak pandai membaca, seorang lurah akan gampang membujukmu untuk dijadikan kuli sukarela dengan sogokan rokok Kooa. Bila kau tidak pernah pulang, kau dikenang sebagai romusha. Bila kau cukup pintar, kau bisa pilih jadi tentara sukarela. Peruntungan itu tidak akan cukup untuk membuatmu pulang. Kau akan berakhir di barak-barak yang dijaga dengan kawat duri. Mungkin kelak kau akan mati di Sumatera, Kalimantan atau Siam. Tetapi aku yang hidup demi cintaku, pintar membaca peruntungan, aku memilih jadi polisi. Bukan keibodan, tetapi benar-benar polisi yang atasannya cuma sidookan.


Dengan demikian aku bisa menjaga jantung hatiku. Sementara perempuan lain menggunakan goni sebagai pakaian, aku bisa mencarikan kain belacu untuknya. Sementara rumah-rumah pengap oleh bau tungku tanpa makanan aku bisa membawakannya beras. Dan pada saat kuli-kuli mengerjakan jalan, kami menapakinya dengan berboncengan sepeda. Itulah jalah yang mesti dilalui hingga pada akhirnya, kata panggilan  "suami" aku dapatkan. Setelahnya memang biasa saja, tetapi tujuan berumah tangga untuk mempertahankan yang biasa saja, bukan?

Jadi aku tetap saja menjadi polisi sebagaimana dititahkan. Di musim panen berdiam di jalanan ujung pematang sawah memastikan petani tidak membawa hasil panen pulang. Pada musim tanam mengangkangi setiap rumah memastikan tidak seorang pun lupa untuk kerja sukarela. Di musim kering aku memastikan sawah-sawah ditanami pohon jarak dan tidak seorang pun boleh menolak. Dan di kala sepi menggelayuti malam, aku rajin mendengar bisik suara yang akan membawa empunya ke penjara. Memang ada yang tidak senang, tetapi siapa berani melawan kuasa manusia di balik seragam? Bahkan pada masa-masa kemarahan itu memuncak, di rumah pun seragam tiada kutanggalkan.

Telah kutimbang-timbang di masa susah ini, tiada yang salah. Tugas polisi itu menjaga ketentraman terutama sekali agar hati Tuan-Tuan kate itu tentram di tengah perang yang memusingkan ini. Mengejar pencuri, menangkap penipu atau menangkap jawara yang meresahkan, itu hanyalah pekerjaan sampingan yang dilakukan apabila ada waktu senggang. Sebab selama hal-hal kecil tidak mengganggu pikiran Tuan-Tuan di atas sana, maka itu bisa dilewatkan begitu saja. Bila ada yang benci, itu pasti iri. Bila ada yang tersakiti, mereka pasti tidak mengerti. Bila ada yang mati, memang sudah ajalnya tiba. Dan aku pulang ke pelukan istriku yang mulai bermimpi tentang kalung emas yang dilihatnya dulu sewaktu gadis. Aku, polisi di zaman sulit, juga mesti memenuhi kebutuhan istri.

 Pada suatu hari istriku panik memberitahu, dia melihat kobar api di kejauhan padahal tiada jerami setelah sawah tak lagi menghasilkan. Orang-orang mengusiri Jepang dan para romusha pulang kembali berteriak merdeka. Aku hanya menunggu pergantian zaman, setiap kekuasaan butuh ketentraman. Dan polisi akan sama posisinya seperti sedia kala. Yang tidak pernah terpikirkan, revolusi di tiga daerah berlangsung begitu lama. Bahkan ketika pemimpin-pemimpin dari pusat berusaha datang meredakan, itu tidak berdampak apa-apa. Laskar-laskar terbentuk, setiap orang merasa dirinya serdadu. Para romusha menentang samurai. Tentara sukarela jadi tentara republik. Dan aku, polisi, adalah orang yang paling mereka cari. Sebab setelah Tuan-Tuan pergi kemana lagi amarah akan ditumpahkan.

Di depan rumah, aku melihat obor menyala terang dan kilauan parang di antaranya. Istriku menjerit-jerit dan aku tidak kuasa mengancingkan seragam. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali  menyapa orang-orang itu. Inilah peristiwa tiga daerah.

1 komentar:

  1. ..seperti biasa...outstanding.......:)...(Rangga, Warta Ekonomi)

    BalasHapus