Sebelum sore
naas itu, aku sudah melupakan sejarah dalam ingatan. Topik itu telah berubah
jadi gelembung-gelembung kecil yang pecah sebelum hangat udara kota sempat
mencumbunya. Tanpa memikirkan masa silam, hidup terasa lebih ringan. Tidak ada
lagi pertentangan pemikiran yang mengombang-ambing, hidup terasa singkat ketika
malam-malam dihabiskan dalam keramaian. Beginilah hidup yang seharusnya
dijalani, melaju dengan hentakan musik yang menghilangkan ingatan.
Sore akhir pekan
adalah saat dimana ponsel pintar menentukan nasib pemiliknya. Angka-angka
diundi untuk mendapat kata setuju jalan di malam hari. Persis seperti undian
yang ditaruh di dalam pukat buaya. Saat-saat yang menyenangkan sebelum bajingan
kecil ini datang. Anak muda itu benar-benar membuyarkan harapanku tentang
gadis-gadis berpakaian minim dengan motif macan yang tengah tren. Menghapus
harapan menatap mereka bergoyang aktif mirip senam SKJ ’88. Senyumnya ketika mengenalkan diri
persis seperti imajinasi Taufieq Ismail tentang tiga anak kecil yang malu-malu
menaruh karangan bunga di tahun ’66. Senyum yang menyebalkan.
“Bagaimana cara
menggugah kesadaran anak muda akan sejarah?”. Tanyanya penuh bangga hanya untuk
menunjukkan kadar intelektual ala mahasiswanya yang serba peduli. Setan apa yang
merasuki anak muda ini. Apakah dia melihat tampangku sekolot Anhar Gonggong,
ataukah badanku setambun Onghokham dan atau jangan-jangan dia pikir aku serenta
Taufik Abdullah. Ini pertanyaan yang salah pada waktu yang tidak tepat kepada
penikmat kehidupan malam. Aku mengalihkan pembicaraan pada topik, apakah dia
masih perjaka? Pernah coba narkoba? Bila memang masih perjaka bila dorongan itu
ada bagaimana? Dan seratus tiga macam topik lainnya yang seharusnya disukai
anak muda. Tetapi ini jenis anak muda yang benar-benar narsis-idealis, gandrung
menonjolkan pertanyaan-pertanyaan tidak penting. Kukuh menunggu jawaban.
Sob…atau ..Bro,
aku bukan sejarawan!!! Berhitung tahun yang lampau aku mengolah sejarah untuk
jadi komoditas popularitas. Dan itu berhasil dengan baik selama beberapa saat,
sebelum aku menemukan dunia baru yang lebih palsu dan menggairahkan. Lagipula,
pertanyaan macam apa itu yang ditanyakannya. Pertanyaan itu tidak akan menolong
anak-anak yang tidak mampu sekolah, tidak akan membantu ibu-ibu melahirkan dan
juga tidak akan menyadarkan Tuan-Tuan dan Tante-Tante untuk mengganti kebiasaan
membeli dengan memberi. Aku sudah muak dan mulai melancarkan jurus kata-kata
bersayap untuk mengusirnya pergi. Tetapi zaman ini memang teramat lain ketika
bahasa pesan pendek di ponsel pintar sudah menggantikan komunikasi lisan dan
tulisan kita yang indah, orang-orang tidak lagi mengerti kata bersayap. Kecuali
bila aku kirimkan pesan lewat ponsel padanya, “capek tau, hush…hush pergi
sana….capcuuuussss”
Seperempat putaran
jarum pendek jam tanganku sudah membuyarkan semua impian keramaian malam ini.
Dan setan narsis-idealis ini masih betah menunggu jawaban. Begini saja
Sob…atau..Bro, kau jangan mengingkari keadaan bahwa aku tidak punya gagasan
untuk menjawab pertanyaanmu itu. Sebab, sejarah itu memang membosankan. Kau
seharusnya tidak bicara minat, tetapi gairah. Dan sayangnya sejarah bak perawan
tua dengan dandanan menor yang akan membuat kabur setiap petualang birahi.
Tetapi sanggahnya dengan gaya sok pintar, bukankah tangkapan indera bisa
dipersepsikan lain oleh otak. Jawabku, otakmu ternyata tidak terasah baik di
bangku kuliah. Kalau kita tidak bisa mengubah persepsi, ucapnya, kenapa tidak
kita tendang saja perawan tua menor itu dan menggantinya dengan yang lebih muda
(tentu dengan baju minim motif macan yang sedang tren)?
Itu bisa saja,
sepanjang kau berani mengubah sejarah jadi taman bermain yang menyenangkan,
dimana batas tepiannya tidak terlihat. Selama kau punya keyakinan bahwa masa
depan tidak bisa diubah dan masa lalu bisa diubah, maka sejarah akan jadi
perempuan muda yang menggairahkan. Bila semesta saja bisa berubah karena
bintang-bintang yang membangkang, kenapa masa silam tidak bisa kita ubah
menjadi cerita-cerita yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan di masa sekarang.
Kenapa kau melulu harus mendengarkan cerita Pedang di kanan dan keris di kiri Diponegoro
dan bukan kisah tentang pasukan Diponegoro yang gemar giting Opium (dan
ketika logistik Opium diputus Belanda, moril pasukannya runtuh)? Kenapa
generasimu mau saja menerima cerita tentang suci murninya perjuangan revolusi
fisik tanpa tahu 17 peti opium ikut menyelamatkan pemerintahan darurat di
Sumatera? Sejarah itu bukanlah kisah moyangmu yang baik yang berhasil
menaklukkan kekuatan jahat moyang mereka.
Para pelaku
sejarah adalah anak-anak muda pada zamannya lengkap dengan kenakalannya
masing-masing. Jadi kau tidak harus menjadi tua ketika memahami sejarah.
Pahamilah jaman mereka dengan jiwa mudamu yang menganga menerima apa saja, baik
dan buruk. Gairah itu hanya akan bisa muncul bila kau percaya bahwa kisah
anak-anak muda di masa silam bukanlah tulang belulang Dinosaurus di masa
sekarang tetapi sebentuk kenakalan yang bisa pula kau mainkan.
Jadi
kesimpulannya? Tanya si narsis-idealis ini dengan wajah sumringah seakan-akan
dia baru saja merayakan terbukanya mulutku setelah bertahun terkunci dari topik
ini. Aku pun sudah capek, aku tepuk pundaknya. Aku bilang padanya, Sejarah
itu bukanlah dogma yang mesti kau yakini tetapi dongeng yang harus kau nikmati
dengan cara terus menerus menyanggah dan mencari kebenarannya.
Dia tersenyum
puas, aku lemas. Malam ini semua berantakan. Ponsel ku mengingatkan tiga pesan
masuk dengan jawaban sama, “Sorry say, kemaleman ngabarinnya. Aku dah jalan
sama Om……”
sampah
BalasHapusKAU YANG SAMPAH!!!
HapusAseek , Bung Ito Nulis lg :)
BalasHapusTunganai
es ito,yang muda yang bercinta, bercinta dengan kegelisahan,idealis, narsisme, Trotkisme. " bukan gadis manado tapi ikan deho"
BalasHapus