Selasa, 13 Desember 2011

Sejarah

Sebelum sore naas itu, aku sudah melupakan sejarah dalam ingatan. Topik itu telah berubah jadi gelembung-gelembung kecil yang pecah sebelum hangat udara kota sempat mencumbunya. Tanpa memikirkan masa silam, hidup terasa lebih ringan. Tidak ada lagi pertentangan pemikiran yang mengombang-ambing, hidup terasa singkat ketika malam-malam dihabiskan dalam keramaian. Beginilah hidup yang seharusnya dijalani, melaju dengan hentakan musik yang menghilangkan ingatan.

Sore akhir pekan adalah saat dimana ponsel pintar menentukan nasib pemiliknya. Angka-angka diundi untuk mendapat kata setuju jalan di malam hari. Persis seperti undian yang ditaruh di dalam pukat buaya. Saat-saat yang menyenangkan sebelum bajingan kecil ini datang. Anak muda itu benar-benar membuyarkan harapanku tentang gadis-gadis berpakaian minim dengan motif macan yang tengah tren. Menghapus harapan menatap mereka bergoyang aktif mirip senam SKJ ’88.  Senyumnya ketika mengenalkan diri persis seperti imajinasi Taufieq Ismail tentang tiga anak kecil yang malu-malu menaruh karangan bunga di tahun ’66. Senyum yang menyebalkan.

“Bagaimana cara menggugah kesadaran anak muda akan sejarah?”. Tanyanya penuh bangga hanya untuk menunjukkan kadar intelektual ala mahasiswanya yang serba peduli. Setan apa yang merasuki anak muda ini. Apakah dia melihat tampangku sekolot Anhar Gonggong, ataukah badanku setambun Onghokham dan atau jangan-jangan dia pikir aku serenta Taufik Abdullah. Ini pertanyaan yang salah pada waktu yang tidak tepat kepada penikmat kehidupan malam. Aku mengalihkan pembicaraan pada topik, apakah dia masih perjaka? Pernah coba narkoba? Bila memang masih perjaka bila dorongan itu ada bagaimana? Dan seratus tiga macam topik lainnya yang seharusnya disukai anak muda. Tetapi ini jenis anak muda yang benar-benar narsis-idealis, gandrung menonjolkan pertanyaan-pertanyaan tidak penting. Kukuh menunggu jawaban.


Sob…atau ..Bro, aku bukan sejarawan!!! Berhitung tahun yang lampau aku mengolah sejarah untuk jadi komoditas popularitas. Dan itu berhasil dengan baik selama beberapa saat, sebelum aku menemukan dunia baru yang lebih palsu dan menggairahkan. Lagipula, pertanyaan macam apa itu yang ditanyakannya. Pertanyaan itu tidak akan menolong anak-anak yang tidak mampu sekolah, tidak akan membantu ibu-ibu melahirkan dan juga tidak akan menyadarkan Tuan-Tuan dan Tante-Tante untuk mengganti kebiasaan membeli dengan memberi. Aku sudah muak dan mulai melancarkan jurus kata-kata bersayap untuk mengusirnya pergi. Tetapi zaman ini memang teramat lain ketika bahasa pesan pendek di ponsel pintar sudah menggantikan komunikasi lisan dan tulisan kita yang indah, orang-orang tidak lagi mengerti kata bersayap. Kecuali bila aku kirimkan pesan lewat ponsel padanya, “capek tau, hush…hush pergi sana….capcuuuussss”

Seperempat putaran jarum pendek jam tanganku sudah membuyarkan semua impian keramaian malam ini. Dan setan narsis-idealis ini masih betah menunggu jawaban. Begini saja Sob…atau..Bro, kau jangan mengingkari keadaan bahwa aku tidak punya gagasan untuk menjawab pertanyaanmu itu. Sebab, sejarah itu memang membosankan. Kau seharusnya tidak bicara minat, tetapi gairah. Dan sayangnya sejarah bak perawan tua dengan dandanan menor yang akan membuat kabur setiap petualang birahi. Tetapi sanggahnya dengan gaya sok pintar, bukankah tangkapan indera bisa dipersepsikan lain oleh otak. Jawabku, otakmu ternyata tidak terasah baik di bangku kuliah. Kalau kita tidak bisa mengubah persepsi, ucapnya, kenapa tidak kita tendang saja perawan tua menor itu dan menggantinya dengan yang lebih muda (tentu dengan baju minim motif macan yang sedang tren)?

Itu bisa saja, sepanjang kau berani mengubah sejarah jadi taman bermain yang menyenangkan, dimana batas tepiannya tidak terlihat. Selama kau punya keyakinan bahwa masa depan tidak bisa diubah dan masa lalu bisa diubah, maka sejarah akan jadi perempuan muda yang menggairahkan. Bila semesta saja bisa berubah karena bintang-bintang yang membangkang, kenapa masa silam tidak bisa kita ubah menjadi cerita-cerita yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan di masa sekarang.

Kenapa kau melulu harus mendengarkan cerita Pedang di kanan dan keris di kiri Diponegoro dan bukan kisah tentang pasukan Diponegoro yang gemar giting Opium (dan ketika logistik Opium diputus Belanda, moril pasukannya runtuh)? Kenapa generasimu mau saja menerima cerita tentang suci murninya perjuangan revolusi fisik tanpa tahu 17 peti opium ikut menyelamatkan pemerintahan darurat di Sumatera? Sejarah itu bukanlah kisah moyangmu yang baik yang berhasil menaklukkan kekuatan jahat moyang mereka.

Para pelaku sejarah adalah anak-anak muda pada zamannya lengkap dengan kenakalannya masing-masing. Jadi kau tidak harus menjadi tua ketika memahami sejarah. Pahamilah jaman mereka dengan jiwa mudamu yang menganga menerima apa saja, baik dan buruk. Gairah itu hanya akan bisa muncul bila kau percaya bahwa kisah anak-anak muda di masa silam bukanlah tulang belulang Dinosaurus di masa sekarang tetapi sebentuk kenakalan yang bisa pula kau mainkan.

Jadi kesimpulannya? Tanya si narsis-idealis ini dengan wajah sumringah seakan-akan dia baru saja merayakan terbukanya mulutku setelah bertahun terkunci dari topik ini. Aku pun sudah capek, aku tepuk pundaknya. Aku bilang padanya, Sejarah itu bukanlah dogma yang mesti kau yakini tetapi dongeng yang harus kau nikmati dengan cara terus menerus menyanggah dan mencari kebenarannya.

Dia tersenyum puas, aku lemas. Malam ini semua berantakan. Ponsel ku mengingatkan tiga pesan masuk dengan jawaban sama, “Sorry say, kemaleman ngabarinnya. Aku dah jalan sama Om……”

 


4 komentar:

  1. Aseek , Bung Ito Nulis lg :)
    Tunganai

    BalasHapus
  2. es ito,yang muda yang bercinta, bercinta dengan kegelisahan,idealis, narsisme, Trotkisme. " bukan gadis manado tapi ikan deho"

    BalasHapus