Sutan Sulaiman
tidak sementereng namanya. Bukan raja, melainkan gelar yang disematkan mamaknya
berhitung puluh tahun yang silam ketika dia menyempurnakan agama dengan
menikahi gadis yang dijodohkan dengannya. Dia tidak bergelimang harta sebagaimana
Raja Sulaiman melainkan hidup bersahaja dengan mimpi sederhana yang masih bisa
diraba-rasa oleh panca indera.
Sutan Sulaiman
hidup dari keterampilan tangan ; mengayun cangkul mengolah sawah dan ladang, memainkan
perkakas menjadikan kayu jadi perabot rumah tangga, menempa besi menjadikannya
pisau dan klewang dan dengan tangannya pula dia membesarkan tujuh orang
anaknya. Si sulung perempuan dan enam orang adik laki-lakinya. Mereka hidup di
pondok kecil yang asri dan bersih di tengah kebun singkong dan tebu yang juga
dijadikan bengkel kerja Sutan Sulaeman. Inilah hidup yang indah. Di pagi hari
mereka ke sawah dan ladang. Lepas siang sibuk di bengkel kerja. Dan di sore
hari bergabung dengan laki-laki lain melepas penat di lapau dengan analisis
politik internasional kelas atas.
Mimpi sederhana
memang bukan untuk mengubah dunia. Tetapi untuk menjaga kebahagiaan tetap ada.
Anak-anak Sutan Sulaiman bersekolah semuanya. Tetapi dia tidak pernah
benar-benar menyerahkan masa depan mereka kepada sekolah yang seringkali
memberi ketidakpastian. Bagi
kebanyakan orang desa, mimpi-mimpi sekolah yang penuh dengan ilusi prestasi
akademis seringkali menipu. Sebab sekolah tidak mengajarkan keterampilan untuk
menghadapi hidup tetapi mengajarkan mimpi yang bagi kebanyakan anak-anak tidak
jelas ujung bayangnya.
Soal menghadapi
hidup, Sutan Sulaiman menjadikan sawah ladang, dapur dan bengkel kerja sebagai
sekolah anaknya. Sedari kecil anak-anaknya sudah mengerti bagaimana cara menebar
benih hingga mengolah padi jadi beras, bagaimana memotong hingga mengampelas
kayu hingga jadi perabot yang mengkilat dan bagaimana mengubah pipa besi padat
menjadi perkakas. Bagi keluarga yang gandrung akan mimpi-mimpi panjang, hidup
yang dipikul oleh anak-anak Sutan Sulaiman tampak berat. Tetapi bukankah yang
mereka lakukan adalah insting dasar manusia sebagai insan berakal, bekerja untuk
memastikan kehidupan esok hari tidak lebih buruk dari hari ini.
Tidak satu pun
dari anak-anak Sutan Sulaiman yang mengenyam bangku kuliah. Sehingga tidak
seorang pun dari mereka yang perlu menghamba, mengapit map ijazah memohon
pekerjaan di kaki Tuan-Tuan yang angkuh. Keterampilan tangan yang diajarkan
ayah mereka membuat punggung mereka tidak perlu membungkuk. Si sulung perempuan
jadi ibu rumah tangga tanpa meninggalkan pekerjaan di sawah dan ladang. Anak
laki-laki paling tua mengolah sawah dan memiliki beberapa ekor kerbau. Tiga
orang adiknya membuka bengkel kayu tanpa juga meninggalkan sawah dan ladang.
Seorang anaknya lulusan STM negeri bahkan berhasil mengelola cabang usaha
tingkat propinsi sebuah perusahaan nasional (yang seringkali membuatnya
melakukan perjalanan ke luar negeri), tentu diawali keterampilan tangan.
Sedangkan si bungsu, satu-satunya sahabatku sewaktu kecil, yang memang serba
rapi bersih dan memikat mengelola toko serba ada lengkap dengan pom bensin
eceran, Pertamini.
Urang subaliak,
demikian kami sekeluarga menyebut mereka (sebagaimana begitu juga mereka
menyebut kami). Sebab hanya kami dua keluarga bertetangga. Setiap kali pulang
kampung, tidak pernah alpa aku menyambangi mereka. Dan setiap kali menapak kaki
di halaman pondok yang semakin sepi itu, aku senantiasa iri. Dari mata renta
Sutan Sulaiman tampak kehidupan dan bukan mimpi. Bahwa hidup sebenarnya
bukanlah perjuangan untuk mengejar impian yang tinggi, tetapi kerja nyata yang
menjadi sumber kebahagiaan. Dan soal materi, mungkin kebanyakan lulusan-lulusan universitas juga kalah
dari mereka. Masing-masing punya rumah sendiri, si bungsu dan kakaknya punya
mobil sendiri, sisanya punya sepeda motor semua.
Sutan Sulaiman
mengajarkan tidak membiarkan sekolah memanipulasi mimpi
anak-anak. Sekolah yang kejam karena seringkali membuat anak-anak memandang
hina kerja orang tuanya di desa. Yang membuat mereka membeli mimpi kota dengan
meninggalkan sawah, ladang dan bengkel kerja. Mimpi yang pada akhirnya berakhir
di rumah petak, gubuk-gubuk jorok dan kejahatan di perkotaan. Mimpi anak-anak
harus tumbuh di tengah-tengah kehangatan keluarga. Sebab anak-anak mewarisi
garis tangan orang tuanya dan biarkan mereka mengubah nasib dengan cara mereka
sendiri. Setiap kali menyambangi Sutan Sulaiman, aku malu melihat diriku yang
terbelit mimpi.
Setuju, thanks for sharing.
BalasHapusNamun IMHO sekolah juga perlu untuk profesi-profesi yang perlu ketrampilan lebih. Contohnya penulis...
aku tahu siapa yang kau maksud ?
BalasHapusdan
terjebak dalam buaian mimpi memang indah hingga kita sering lupa untuk bangun melihat yang ada di depan mata
http://kanginun.blogspot.com/2011/12/benih-benih-dari-desa-bunga.html
BalasHapusMenarik Bung Ito, poinnya adalah kemandirian. Sebuah tatanan nilai sudah hilang di banyak nagari sekitar sutan Sulaiman.
BalasHapusParadigma harus dirubah.. Inti dari sekolah harusnya menyiapkan sang murid untuk dapat hidup dalam kondisi apa pun. Dapat mandiri dan bertanggung jawab dan jauh dari mimpi kosong..
Saya mohon ijin share..
Tabik
Dd
Realita dan Inspiratif..
BalasHapusSaya menyaksikan sendiri kisah ini, yang sering keluar negri itu teman saya... semoga kita bisa mencontoh nya buat anak2 kita...
Bung Ito klu boleh panggil tepatnya dek ito...
masih kuat tanah panyurek ke batas kota...
Setiap tahun Institut Pertanian di negeri ini tidak pernah berhenti memproduksi sarjana pertanian. Tetapi naif, petani, nelayan selalu menjadi orang yg tersingkir!
BalasHapusSetau saya gelar sutan tuh gelar buat orang yang sudah menikah tp masih merupakan keturunan wakil raja pagaruyung di pariaman dan padang
BalasHapus