Jumat, 16 Desember 2011

Sutan Sulaiman


Sutan Sulaiman tidak sementereng namanya. Bukan raja, melainkan gelar yang disematkan mamaknya berhitung puluh tahun yang silam ketika dia menyempurnakan agama dengan menikahi gadis yang dijodohkan dengannya. Dia tidak bergelimang harta sebagaimana Raja Sulaiman melainkan hidup bersahaja dengan mimpi sederhana yang masih bisa diraba-rasa oleh panca indera.

Sutan Sulaiman hidup dari keterampilan tangan ; mengayun cangkul mengolah sawah dan ladang, memainkan perkakas menjadikan kayu jadi perabot rumah tangga, menempa besi menjadikannya pisau dan klewang dan dengan tangannya pula dia membesarkan tujuh orang anaknya. Si sulung perempuan dan enam orang adik laki-lakinya. Mereka hidup di pondok kecil yang asri dan bersih di tengah kebun singkong dan tebu yang juga dijadikan bengkel kerja Sutan Sulaeman. Inilah hidup yang indah. Di pagi hari mereka ke sawah dan ladang. Lepas siang sibuk di bengkel kerja. Dan di sore hari bergabung dengan laki-laki lain melepas penat di lapau dengan analisis politik internasional kelas atas.

Mimpi sederhana memang bukan untuk mengubah dunia. Tetapi untuk menjaga kebahagiaan tetap ada. Anak-anak Sutan Sulaiman bersekolah semuanya. Tetapi dia tidak pernah benar-benar menyerahkan masa depan mereka kepada sekolah yang seringkali memberi ketidakpastian.  Bagi kebanyakan orang desa, mimpi-mimpi sekolah yang penuh dengan ilusi prestasi akademis seringkali menipu. Sebab sekolah tidak mengajarkan keterampilan untuk menghadapi hidup tetapi mengajarkan mimpi yang bagi kebanyakan anak-anak tidak jelas ujung bayangnya.


Soal menghadapi hidup, Sutan Sulaiman menjadikan sawah ladang, dapur dan bengkel kerja sebagai sekolah anaknya. Sedari kecil anak-anaknya sudah mengerti bagaimana cara menebar benih hingga mengolah padi jadi beras, bagaimana memotong hingga mengampelas kayu hingga jadi perabot yang mengkilat dan bagaimana mengubah pipa besi padat menjadi perkakas. Bagi keluarga yang gandrung akan mimpi-mimpi panjang, hidup yang dipikul oleh anak-anak Sutan Sulaiman tampak berat. Tetapi bukankah yang mereka lakukan adalah insting dasar manusia sebagai insan berakal, bekerja untuk memastikan kehidupan esok hari tidak lebih buruk dari hari ini.

Tidak satu pun dari anak-anak Sutan Sulaiman yang mengenyam bangku kuliah. Sehingga tidak seorang pun dari mereka yang perlu menghamba, mengapit map ijazah memohon pekerjaan di kaki Tuan-Tuan yang angkuh. Keterampilan tangan yang diajarkan ayah mereka membuat punggung mereka tidak perlu membungkuk. Si sulung perempuan jadi ibu rumah tangga tanpa meninggalkan pekerjaan di sawah dan ladang. Anak laki-laki paling tua mengolah sawah dan memiliki beberapa ekor kerbau. Tiga orang adiknya membuka bengkel kayu tanpa juga meninggalkan sawah dan ladang. Seorang anaknya lulusan STM negeri bahkan berhasil mengelola cabang usaha tingkat propinsi sebuah perusahaan nasional (yang seringkali membuatnya melakukan perjalanan ke luar negeri), tentu diawali keterampilan tangan. Sedangkan si bungsu, satu-satunya sahabatku sewaktu kecil, yang memang serba rapi bersih dan memikat mengelola toko serba ada lengkap dengan pom bensin eceran, Pertamini.

Urang subaliak, demikian kami sekeluarga menyebut mereka (sebagaimana begitu juga mereka menyebut kami). Sebab hanya kami dua keluarga bertetangga. Setiap kali pulang kampung, tidak pernah alpa aku menyambangi mereka. Dan setiap kali menapak kaki di halaman pondok yang semakin sepi itu, aku senantiasa iri. Dari mata renta Sutan Sulaiman tampak kehidupan dan bukan mimpi. Bahwa hidup sebenarnya bukanlah perjuangan untuk mengejar impian yang tinggi, tetapi kerja nyata yang menjadi sumber kebahagiaan. Dan soal materi, mungkin kebanyakan lulusan-lulusan universitas juga kalah dari mereka. Masing-masing punya rumah sendiri, si bungsu dan kakaknya punya mobil sendiri, sisanya punya sepeda motor semua.
Sutan Sulaiman mengajarkan tidak membiarkan sekolah memanipulasi mimpi anak-anak. Sekolah yang kejam karena seringkali membuat anak-anak memandang hina kerja orang tuanya di desa. Yang membuat mereka membeli mimpi kota dengan meninggalkan sawah, ladang dan bengkel kerja. Mimpi yang pada akhirnya berakhir di rumah petak, gubuk-gubuk jorok dan kejahatan di perkotaan. Mimpi anak-anak harus tumbuh di tengah-tengah kehangatan keluarga. Sebab anak-anak mewarisi garis tangan orang tuanya dan biarkan mereka mengubah nasib dengan cara mereka sendiri. Setiap kali menyambangi Sutan Sulaiman, aku malu melihat diriku yang terbelit mimpi.



7 komentar:

  1. Setuju, thanks for sharing.
    Namun IMHO sekolah juga perlu untuk profesi-profesi yang perlu ketrampilan lebih. Contohnya penulis...

    BalasHapus
  2. aku tahu siapa yang kau maksud ?
    dan
    terjebak dalam buaian mimpi memang indah hingga kita sering lupa untuk bangun melihat yang ada di depan mata

    BalasHapus
  3. http://kanginun.blogspot.com/2011/12/benih-benih-dari-desa-bunga.html

    BalasHapus
  4. Menarik Bung Ito, poinnya adalah kemandirian. Sebuah tatanan nilai sudah hilang di banyak nagari sekitar sutan Sulaiman.
    Paradigma harus dirubah.. Inti dari sekolah harusnya menyiapkan sang murid untuk dapat hidup dalam kondisi apa pun. Dapat mandiri dan bertanggung jawab dan jauh dari mimpi kosong..
    Saya mohon ijin share..
    Tabik
    Dd

    BalasHapus
  5. Realita dan Inspiratif..
    Saya menyaksikan sendiri kisah ini, yang sering keluar negri itu teman saya... semoga kita bisa mencontoh nya buat anak2 kita...
    Bung Ito klu boleh panggil tepatnya dek ito...
    masih kuat tanah panyurek ke batas kota...

    BalasHapus
  6. Setiap tahun Institut Pertanian di negeri ini tidak pernah berhenti memproduksi sarjana pertanian. Tetapi naif, petani, nelayan selalu menjadi orang yg tersingkir!

    BalasHapus
  7. Setau saya gelar sutan tuh gelar buat orang yang sudah menikah tp masih merupakan keturunan wakil raja pagaruyung di pariaman dan padang

    BalasHapus